watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

NINGSIH PEMBANTUKU

Bermula dari ditinggal istri kabur karena aku
ketahuan mencari daun muda, akhirnya
Terjadilah Cerita ini, antara gue dengan ningsih,
pembantu baruku yang lugu..
Sebut saja namaku Paul. Aku bekerja di sebuah
instansi pemerintahan di kota S, selain juga
memiliki sebuah usaha wiraswasta. Sebetulnya
aku sudah menikah, bahkan rasanya istriku tahu
akan hobiku mencari daun-daun muda untuk
“obat awet muda”. Dan memang pekerjaanku
menunjang untuk itu, baik dari segi koneksi
maupun dari segi finansial. Namun semenjak
istriku tahu aku memiliki banyak sekali simpanan,
suatu hari ia meninggalkanku tanpa pamit.
Biarlah, malah aku bisa lebih bebas menyalurkan
hasrat.
Karena pembantu yang lama keluar untuk kawin
di desanya, aku terpaksa mencari penggantinya
di agen. Bukan saja karena berbagai pekerjaan
rumah terbengkalai, juga rasanya kehilangan
“obat stress”. Salah seorang calon yang menarik
perhatianku bernama Ningsih, baru berusia
(hampir) 16 tahun, berwajah cukup manis,
dengan lesung pipit. Matanya sedikit sayu dan
bibirnya kecil seksi. Seandainya kulitnya tidak
sawo matang (meskipun bersih dan mulus juga)
, dia sudah mirip-mirip artis sinetron. Meskipun
mungil, bodinya padat, dan yang terpenting, dari
sikapnya aku yakin pengalaman gadis itu tidak
sepolos wajahnya. Tanpa banyak tanya,
langsung dia kuterima.
Dan setelah beberapa hari, terbukti Ningsih
memang cukup cekatan mengurus rumah.
Namun beberapa kali pula aku memergokinya
sedang sibuk di dapur dengan mengenakan kaos
ketat dan rok yang sangat mini. Tanpa menyia-
nyiakan kesempatan, aku mendekat dari
belakang dan kucubit paha gadis itu. Ningsih
terpekik kaget, namun setelah sadar majikannya
yang berdiri di belakangnya, ia hanya merengut
manja dan disinilah awal Cerita Dewasa Kami
Dimulai.
Sore ini sepulang kerja aku kembali dibuat
melotot disuguhi pemandangan yang
‘menegangkan’ saat Ningsih yang hanya
berdaster tipis menungging sedang mengepel
lantai, pantatnya yang montok bergoyang kiri-
kanan. Tampak garis celana dalamnya
membayang di balik dasternya. Tidak tahan
membiarkan pantat seseksi itu, kutepuk pantat
Ningsih keras-keras.
“Ngepel atau nyanyi dangdut sih? Goyangnya
kok merangsang sekali!” Ningsih terkikik geli
mendengar komentarku, dan kembali
meneruskan pekerjaannya. Dengan sengaja
pantatnya malah digoyang semakin keras.
Geli melihat tingkah Ningsih, kupegang pantat
gadis itu kuat-kuat untuk menahan
goyangannya. Saat Ningsih tertawa cekikikan,
jempolku sengaja mengelus selangkangan gadis
itu, menghentikan tawanya. Karena diam saja,
perlahan kuelus paha Ningsih ke atas,
menyingkapkan ujung dasternya.”Eh… Ndoro…
jangan..!” cegah Ningsih lirih.
“Nggak pa-pa, nggak usah takut, Nduk..!”
“Jangan, Ndoro… malu… jangan sekarang..!”
Dengan tergesa Ningsih bangkit membereskan
ember dan kain pel, lalu bergegas menuju ke
dapur.
Malam harinya lewat intercom aku memanggil
Ningsih untuk memijat punggungku yang pegal.
Seharian penuh bersidang memang
membutuhkan stamina yang prima. Agar
tenagaku pulih untuk keperluan besok, tidak ada
salahnya memberi pengalaman pada orang
baru.
Gadis itu muncul masih dengan daster merah
tipisnya sambil membawa minyak gosok.
Ningsih duduk di atas ranjang di sebelah
tubuhku.
Sementara jemari lentik Ningsih memijati
punggung, kutanya, “Nduk, kamu sudah punya
pacar belum..?”
“Disini belum Ndoro…” jawab gadis itu.
“Disini belum..? Berarti di luar sini sudah..?”
Sambil tertawa malu-malu gadis itu menjawab
lagi, “Dulu di desa saya pernah, tapi sudah saya
putus.”
“Lho, kenapa..?”
“Habis mau enaknya saja dia.”
“Mau enaknya saja gimana..?” kejarku.
“Eh… itu, ya… maunya ngajak gituan terus, tapi
kalau diajak kawin nggak mau.”
Aku membalikkan badan agar dadaku juga turut
dipijat.
“Gituan gimana? Memangnya kamu nggak
suka..?”
Wajah Ningsih memerah, “Ya… itu… ngajak
kelonan… tidur telanjang bareng…”
“Kamu mau aja..?”
“Ih, enggak! Kalau cuma disuruh ngemut
burungnya saja sih nggak pa-pa. Mau sampai
selesai juga boleh. Tapi yang lain Ningsih nggak
mau..!”
Aku tertawa, “Lha apa nggak belepotan..?”
“Ah, enggak. Yang penting Ningsih juga puas
tapi tetep perawan.”
Aku semakin terbahak, “Kalau kamu juga puas,
terus kenapa diputus..?”
“Abis lama-lama Ningsih kesel! Ningsih kalau
diajak macem-macem mau, tapi dia diajak kawin
malah main mata sama cewek lain! Untung
Ningsih cuma kasih emut aja, jadi sampai
sekarang Ningsih masih perawan.”
“Main emut terus gitu apa kamu nggak pengin
nyoba yang beneran..?” godaku.
Wajah Ningsih kembali memerah, “Eh… katanya
sakit ya Ndoro..? Terus bisa hamil..?”
Kini Ningsih berlutut mengangkangi tubuhku
sambil menggosokkan minyak ke perutku. Saat
gadis itu sedikit membungkuk, dari balik
dasternya yang longgar tampak belahan buah
dadanya yang montok alami tanpa penopang
apapun.
Sambil tanganku mengelus-elus kedua paha
Ningsih yang terkangkang, aku menggoda,
“Kalau sama Ndoro, Ningsih ngasih yang
beneran atau cuma diemut..?”
Pipi Ningsih kini merah padam, “Mmm…
memangnya Ndoro mau sama Ningsih? Ningsih
kan cuma pembantu? Cuma pelayan?”
“Nah ini namanya juga melayani. Iya nggak?”
Ningsih hanya tersenyum malu.
“Aaah! Itu kan cuma jabatan. Yang penting kan
orangnya..!”
“Ehm.., kalau hamil gimana..?”
“Jangan takut Nduk, kalau cuma sekali nggak
bakalan hamil. Nanti Ndoro yang tanggung
jawab..”
Meskipun sedikit ragu dan malu, Ningsih
menuruti dan menanggalkan dasternya.
Sambil meletakkan pantatnya di atas pahaku,
gadis itu dengan tersipu menyilangkan
tangannya untuk menutupi kemontokan kedua
payudaranya. Untuk beberapa saat aku
memuaskan mata memandangi tubuh montok
yang nyaris telanjang, sementara Ningsih
dengan jengah membuang wajah. Dengan tidak
sabaran kutarik pinggang Ningsih yang meliuk
mulus agar ia berbaring di sisiku.
Seumur hidup mungkin baru sekali ini Ningsih
merasakan berbaring di atas kasur seempuk ini.
Langsung saja kusergap gadis itu, kuciumi
bibirnya yang tersenyum malu, pipinya yang
lesung pipit, menggerayangi sekujur tubuhnya
dan meremas-remas kedua payudaranya yang
kenyal menggiurkan. Puting susunya yang
kemerahan terasa keras mengacung. Kedua
payudara gadis itu tidak terlalu besar, namun
montok pas segenggaman tangan. Dan kedua
bukit itu berdiri tegak menantang, tidak
menggantung. Gadis desa ini memang sedang
ranum-ranumnya, siap untuk dipetik dan
dinikmati.
“Mmmhh… Oh! Ahhh! Oh… Ndorooo… eh..
mmm… burungnya… mau Ningsih emut dulu
nggak..?” tanya gadis itu diantara nafasnya yang
terengah-engah.
“Lepas dulu celana dalam kamu Nduk, baru
kamu boleh emut.”
Tersipu Ningsih bangkit, lalu memelorotkan
celana dalamnya hingga kini gadis itu telanjang
bulat. Perlahan Ningsih berlutut di sisiku, meraih
kejantananku dan mendekatkan wajahnya ke
selangkanganku. Sambil menyibakkan
rambutnya, gadis itu sedikit terbelalak melihat
besarnya kejantananku. Mungkin ia
membayangkan bagaimana benda berotot
sebesar itu dapat masuk di tubuhnya.
Aku segera merasakan sensasi yang luar biasa
ketika Ningsih mulai mengulum kejantananku,
memainkan lidahnya dan menghisap dengan
mulut mungilnya sampai pipinya ‘kempot’. Gadis
ini ternyata pintar membuat kejantananku cepat
gagah.
“Ehm… srrrp… mmm… crup! Ahmm… mmm…
mmmh..! Nggolo (ndoro)..! Hangang keyas-
keyas (jangan keras-keras)..! Srrrp..!”
Gadis itu tergeliat dan memprotes ketika aku
meraih payudaranya yang montok dan
meremasinya. Namun aku tak perduli, bahkan
tangan kananku kini mengelus belahan pantat
Ningsih yang bulat penuh, terus turun sampai ke
bibir kemaluannya yang masih jarang-jarang
rambutnya. Maklum, masih perawan.
Gadis itu tergelinjang tanpa berani bersuara
ketika jemariku menyibakkan bibir kemaluannya
dan menelusup dalam kemaluannya yang masih
perawan. Merasa kejantananku sudah cukup
gagah, kusuruh Ningsih mengambil pisau cukur
di atas meja, lalu kembali ke atas ranjang.
Tersipu-sipu gadis perawan itu mengambil
bantal berusaha untuk menutupi
ketelanjangannya.
Malu-malu gadis itu menuruti perintah
majikannya berbaring telentang menekuk lutut
dan merenggangkan pahanya,
mempertontonkan rambut kemaluannya yang
hanya sedikit. Tanpa menggunakan foam,
langsung kucukur habis rambut di selangkangan
gadis itu, membuat Ningsih tergelinjang karena
perih tanpa berani menolak. Kini bibir kemaluan
Ningsih mulus kemerahmerahan seperti
kemaluan seorang gadis yang belum cukup
umur, namun dengan payudara yang kencang.
Dengan sigap aku menindih tubuh montok
menggiurkan yang telanjang bulat tanpa sehelai
benang pun itu. Tersipu-sipu Ningsih
membuang wajah dan menutupi payudaranya
dengan telapak tangan. Namun segera kutarik
kedua tangan Ningsih ke atas kepalanya, lalu
menyibakkan paha gadis itu yang sudah
mengangkang. Pasrah Ningsih memejamkan
mata menantikan saatnya mempersembahkan
keperawanannya.
Gadis itu menahan nafas dan menggigit bibir
saat jemariku mempermainkan bibir
kemaluannya yang basah terangsang. Perlahan
kedua paha mulus Ningsih terkangkang semakin
lebar. Aku menyapukan ujung kejantananku
pada bibir kemaluan gadis itu, membuat
nafasnya semakin memburu. Perlahan tapi pasti,
kejantananku menerobos masuk ke dalam
kehangatan tubuh perawan Ningsih. Ketika
selaput dara gadis manis itu sedikit menghalangi,
dengan perkasa kudorong terus, sampai ujung
kejantananku menyodok dasar liang kemaluan
Ningsih. Ternyata kemaluan gadis ini kecil dan
sangat dangkal masih perawan. Kejantananku
hanya dapat masuk seluruhnya dalam
kehangatan keperawanannya bila didorong
cukup kuat sampai menekan dasar
kemaluannya. Itu pun segera terdesak keluar
lagi.
Ningsih terpekik sambil tergeliat merasakan pedih
menyengat di selangkangannya saat
kurenggutkan keperawanan yang selama ini
telah dijaganya baik-baik. Tapi gadis itu hanya
berani meremas-remas bantal di kepalanya
sambil menggigit bibir menahan sakit. Air mata
gadis itu tak terasa menitik dari sudut mata,
mengaburkan pandangannya. Ningsih merintih
kesakitan ketika aku mulai bergerak menikmati
kehangatan kemaluannya yang serasa ‘megap-
megap’ dijejali benda sebesar itu. Namun rasa
sakit dan pedih di selangkangannya perlahan
tertutup oleh sensasi geli-geli nikmat yang luar
biasa.
Tiap kali kejantananku menekan dasar
kemaluannya, gadis itu tergelinjang oleh ngilu
bercampur nikmat yang belum pernah
dirasakannya. Kejantananku bagai diremas-
remas dalam liang kemaluan Ningsih yang
begitu ‘peret’ dan legit. Dengan perkasa
kudorong kejantananku sampai masuk
seluruhnya dalam selangkangan gadis itu,
membuat Ningsih tergelinjang-gelinjang sambil
merintih nikmat tiap kali dasar kemaluannya
disodok.
“Ahh… Ndoro..! Aa… ah..! Aaa… ahk..! Oooh..!
Ndorooo… Ningsih pengen… pih… pipiiis..!
Aaa… aahh..!”
Sensasi nikmat luar biasa membuat Ningsih
dengan cepat terorgasme.
“Tahan Nduk! Kamu nggak boleh pipis dulu..!
Tunggu Ndoro pipisin kamu, baru kamu boleh
pipis..!”
Dengan patuh Ningsih mengencangkan otot
selangkangannya sekuat tenaga berusaha
menahan pipis, kepalanya menggeleng-geleng
dengan mata terpejam, membuat rambutnya
berantakan, namun beberapa saat kemudian…
“Nggak tahan Ndorooo..! Ngh…! Ngh…! Ngggh!
Aaaiii… iik..! Aaa… aaahk..!” Tanpa dapat ditahan-
tahan, Ningsih tergelinjang-gelinjang di bawah
tindihanku sambil memekik dengan nafas
tersengal-sengal.
Payudaranya yang bulat dan kenyal berguncang
menekan dadaku saat gadis itu memeluk erat
tubuh majikannya, dan kemaluannya yang
begitu rapat bergerak mencucup-cucup.
Berpura-pura marah, aku menghentikan
genjotannya dan menarik kejantananku keluar
dari tubuh Ningsih.
“Dibilang jangan pipis dulu kok bandel..! Awas
kalau berani pipis lagi..!” Tampak kejantananku
bersimbah cairan bening bercampur kemerahan,
tanda gadis itu betul-betul masih perawan. Gadis
itu mengira majikannya sudah selesai,
memejamkan mata sambil tersenyum puas dan
mengatur nafasnya yang ‘senen-kamis’. Di
pangkal paha gadis itu tampak juga darah
perawan menitik dari bibir kemaluannya yang
perlahan menutup.
Aku menarik pinggang Ningsih ke atas, lalu
mendorong sebuah bantal empuk ke bawah
pantat Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis
itu agak melengkung karena pantatnya diganjal
bantal. Tanpa basa-basi kembali kutindih tubuh
montok Ningsih, dan kembali kutancapkan
kejantananku dalam liang kemaluan gadis itu.
Dengan posisi pantat terganjal, klentit Ningsih
yang peka menjadi sedikit mendongak. Sehingga
ketika aku kembali melanjutkan tusukanku, gadis
itu tergelinjang dan terpekik merasakan sensasi
yang bahkan lebih nikmat lagi dari yang barusan.
“Mau terus apa brenti, Nduk..?” godaku.
“Aii… iih..! He.. eh..! Terus Ndorooo..! Enak..!
Enak..! Aahh… Aiii… iik..!”
Tubuh Ningsih yang montok menggiurkan
tergelinjang-gelinjang dengan nikmat dengan
nafas tersengal-sengal diantara pekikan-pekikan
manjanya.
“Ooo… ohh..! Ndoroo.., Ningsih pengen pipis..
lagiii… iih..!”
“Yang ini ditahan dulu..! Tahan Nduk..!”
“Aa.. aak..! Ampuuu… unnhh..! Ningsih nggak
kuat… Ndorooo..!”
Seiring pekikan manjanya, tubuh gadis itu
tergeliat-geliat di atas ranjang empuk.
Pekikan manja Ningsih semakin keras setiap kali
tubuh telanjangnya tergerinjal saat kusodok
dasar liang kegadisannya, membuat kedua
pahanya tersentak mengangkang semakin lebar,
semakin mempermudah aku menikmati tubuh
perawannya. Dengan gemas sekuat tenaga
kuremas-remas kedua payudara Ningsih hingga
tampak berbekas kemerah-merahan. Begitu
kuatnya remasanku hingga cairan putih susu
menitik keluar dari putingnya yang kecoklatan.
“Ahhhk..! Aaa.. aah! Aduu.. uhh! Sakit Ndorooo..!
Ningsih mau pipiiiiss..!”
Dengan maksud menggoda gadis itu, aku
menghentikan sodokannya dan mencabut
kejantanannya justru disaat Ningsih mulai
orgasme.
“Mau pipis Nduk..?” tanyaku pura-pura kesal.
“Oohh… Ndorooo… terusin dong..! Cuma ‘dikit,
nggak pa-pa kok..!” rengek gadis itu manja.
“Kamu itu nggak boleh pipis sebelum Ndoro
pipisin kamu, tahu..?” aku terus berpura-pura
marah.
Tampak bibir kemaluan Ningsih yang gundul kini
kemerah-merahan dan bergerak berdenyut.
“Enggak! Enggak kok! Ningsih enggak berani
Ndoro..!”
Ningsih memeluk dan berusaha menarik
tubuhku agar kembali menindih tubuhnya.
Rasanya sebentar lagi gadis itu mau pipis untuk
ketiga kalinya.
“Kalau sampai pipis lagi, Ndoro bakal marah, lho
Nduk..?” kuremas kedua buah dada montok
Ningsih.
“Engh… Enggak. Nggak berani.” Wajah gadis itu
berkerut menahan pipis.
“Awas kalau berani..!” kukeraskan cengkeraman
tangannya hingga payudara gadis itu seperti
balon melotot dan cairan putih susu kembali
menetes dari putingnya.
“Ahk! Aah..! Nggak berani, Ndoro..!”
Ningsih menggigit bibir menahan sakitnya
remasan-remasanku yang bukannya dilepas
malah semakin kuat dan cepat. Namun gadis itu
segera merasakan ganjarannya saat
kejantananku kembali menghajar kemaluannya.
Tak ayal lagi, Ningsih kembali tergiur tanpa
ampun begitu dasar liang kemaluannya ditekan
kuat.
“Ngh..! Ngh..! Nggghhh..! Ahk… Aaa… aahhh..!
Ndorooo… ampuuu… uun..!”
Tubuh montok gadis itu tergerinjal seiring
pekikan manjanya.
Begitu cepatnya Ningsih mencapai puncak
membuat aku semakin gemas menggeluti tubuh
perawannya. Tanpa ampun kucengkeram kedua
bukit montok yang berdiri menantang di
hadapanku dan meremasinya dengan kuat,
meninggalkan bekas kemerahan di kulit
payudara Ningsih. Sementara genjotan demi
genjotan kejantananku menyodok kemaluan
gadis itu yang hangat mencucup-cucup
menggiurkan, bagai memohon semburan
puncak.
Gadis itu sendiri sudah tak tahu lagi mana atas
mana bawah, kenikmatan luar biasa tidak henti-
hentinya memancar dari selangkangannya.
Rasanya seperti ingin pipis tapi nikmat luar biasa
membuat Ningsih tidak sadar memekik-mekik
manja. Kedua pahanya yang sehari-hari
biasanya disilangkan rapat-rapat, kini
terkangkang lebar, sementara liang kemaluannya
tanpa dapat ditahan-tahan berdenyut mencucup
kejantananku yang begitu perkasa
menggagahinya. Sekujur tubuh gadis itu basah
bersimbah keringat.
“Hih! Rasain! Dibilang jangan pipis! Mau ngelawan
ya..!” Gemas kucengkeram kedua buah dada
Ningsih erat-erat sambil menghentakkan
kejantananku sejauh mungkin dalam kemaluan
dangkal gadis itu.
Ningsih tergelinjang-gelinjang tidak berdaya tiap
kali dasar kemaluannya disodok. Pantat gadis itu
yang terganjal bantal empuk berulangkali
tersentak naik menahan nikmat.
“Oooh… Ndorooo..! Ahk..! Ampun..! Ampun
Ndoroo..! Sudah..! Ampuuu.. unn..!” Ningsih
merintih memohon ampun tidak sanggup lagi
merasakan kegiuran yang tidak kunjung reda.
Begitu lama majikannya menggagahinya, seolah
tidak akan pernah selesai. Tidak terasa air
matanya kembali berlinang membasahi pipinya.
Kedua tangan gadis itu menggapai-gapai tanpa
daya, paha mulusnya tersentak terkangkang tiap
kali kemaluannya dijejali kejantananku, nafasnya
tersengal dan terputus-putus. Bagian dalam
tubuhnya terasa ngilu disodok tanpa henti. Putus
asa Ningsih merengek memohon ampun,
majikannya bagai tak kenal lelah terus
menggagahi kegadisannya. Bagi gadis itu seperti
bertahun-tahun ia telah melayani majikannya
dengan pasrah.
Menyadari kini Ningsih sedang terorgasme
berkepanjangan, aku tarik paha Ningsih ke atas
hingga menyentuh payudaranya dan
merapatkannya. Akibatnya kemaluan gadis itu
menjadi semakin sempit menjepit kejantananku
yang terus menghentak keluar masuk. Ningsih
berusaha kembali mengangkang, namun
dengan perkasa semakin kurapatkan kedua paha
mulusnya. Mata Ningsih yang bulat terbeliak dan
berputar-putar, sedangkan bibirnya merah
merekah membentuk huruf ‘O’ tanpa ada suara
yang keluar. Sensasi antara pedih dan nikmat
yang luar biasa di selangkangannya kini semakin
menjadi-jadi.
Aku semakin bersemangat menggenjotkan
kejantananku dalam hangatnya cengkeraman
pangkal paha Ningsih, membuat gadis itu
terpekik-pekik nikmat dengan tubuh terdorong
menyentak ke atas tiap kali kemaluannya disodok
keras.
“Hih! Rasain! Rasain! Nih! Nih! Nihh..!” aku
semakin geram merasakan kemaluan Ningsih
yang begitu sempit dan dangkal seperti
mencucup-cucup kejantananku.
“Ahh..! Ampuuu…uun… ampun… Ndoro! Aduh…
sakiit… ampuuu… un..!”
Begitu merasakan kenikmatan mulai memuncak,
dengan gemas kuremas kedua payudara Ningsih
yang kemerah-merahan berkilat bersimbah
keringat dan cairan putih dari putingnya,
menumpukan seluruh berat tubuhku pada tubuh
gadis itu dengan kedua paha gadis itu terjepit di
antara tubuh kami, membuat tubuh Ningsih
melesak dalam empuknya ranjang.
Pekikan tertahan gadis itu, gelinjangan tubuhnya
yang padat telanjang dan ‘peret’-nya
kemaluannya yang masih perawan membuatku
semakin hebat menggeluti gadis itu.
“Aduh! Aduu… uuhh… sakit Ndoro! Aaah…
aaamm… aaammpuuun… ampuuu… uun
Ndoro..
Ningsih… pipiiii… iiis! Aaammm… puuun..!”
Dan akhirnya kuhujamkan kejantananku
sedalam-dalamnya memenuhi kemaluan
Ningsih, membuat tubuh telanjang gadis itu
terlonjak dalam tindihanku, namun tertahan oleh
cengkeraman tanganku pada kedua buah dada
Ningsih yang halus mulus.
Tanpa dapat kutahan, kusemburkan sperma
dalam cucupan kemaluan Ningsih yang hangat
menggiurkan sambil dengan sekuat tenaga
meremas-remas kedua buah dada gadis itu,
membuat Ningsih tergerinjal antara sakit dan
nikmat.
“Ahk! Auh..! Aaa… aauuhh! Oh… ampuuu…uun
Ndoro! Terus Ndoro..! Ampuuun! Amm…
mmh..! Aaa… aaakh..!”
Dengan puas aku menjatuhkan tubuh di sisi
tubuh Ningsih yang sintal, membuat gadis itu
turut terguling ke samping, namun kemudian
gadis itu memeluk tubuhku. Sambil terisak-isak
bahagia, Ningsih memeluk tubuhku dan
mengelus-elus punggungku.
Sambil mengatur nafas, aku berpikir untuk
menaikkan gaji Ningsih beberapa kali lipat, agar
gadis itu betah bekerja di sini, dan dapat
melayaniku setiap saat. Dengan tubuh yang
masih gemetar dan lemas, Ningsih perlahan
turun dari ranjang dan mulai melompat-lompat
di samping ranjang.
Keheranan aku bertanya, “Ngapain kamu,
Nduk..?”
“Katanya… biar nggak hamil harus lompat..
lompat, Ndoro..” jawab gadis itu polos.
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya,
melihat cairan kental meleleh dari pangkal paha
gadis itu yang mulus tanpa sehelai rambut pun.


Adult | GO HOME | Exit
1/1373
U-ON

inc Powered by Xtgem.com